Cari Blog Ini

Minggu, 20 November 2016

Mush’ab bin 'Umair, Kecintaan dan Keteguhannya Terhadap Agama dan Rasul-Nya



Mush’ab bin 'Umair, 
Kecintaan dan Keteguhannya Terhadap Agama dan Rasul-Nya



Masa muda atau usia remaja adalah saat orang-orang mulai mengenal dan merasakan manisnya dunia. Pada fase ini, banyak pemuda lalai dan lupa, jauh sekali lintasan pikiran akan kematian ada di benak mereka. Apalagi bagi mereka orang-orang yang kaya, memiliki fasilitas hidup yang dijamin orang tua. Mobil yang bagus, uang saku yang cukup, tempat tinggal yang baik, dan kenikmatan lainnya, maka pemuda ini merasa bahwa ia adalah raja.

Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang pemuda yang kaya, berpenampilan rupawan, dan biasa dengan kenikmatan dunia. Ia adalah Mush’ab bin Umair. Ada yang menukilkan kesan pertama al-Barra bin Azib ketika pertama kali melihat Mush’ab bin Umair tiba di Madinah. Ia berkata,
رَجُلٌ لَمْ أَرَ مِثْلَهُ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ الجَنَّةِ
“Seorang laki-laki, yang aku belum pernah melihat orang semisal dirinya. Seolah-olah dia adalah laki-laki dari kalangan penduduk surga.”

Ia adalah di antara pemuda yang paling tampan dan kaya di Kota Mekah. Kemudian ketika Islam datang, ia jual dunianya dengan kekalnya kebahagiaan di akhirat.

Kelahiran dan Masa Pertumbuhannya
Mush’ab bin Umair dilahirkan di masa jahiliyah, empat belas tahun (atau lebih sedikit) setelah kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan pada tahun 571 M (Mubarakfuri, 2007: 54), sehingga Mush’ab bin Umair dilahirkan pada tahun 585 M.

Ia merupakan pemuda kaya keturunan Quraisy; Mush’ab bin Umair bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Abdud Dar bin Qushay bin Kilab al-Abdari al-Qurasyi. Dalam Asad al-Ghabah, Imam Ibnul Atsir mengatakan, “Mush’ab adalah seorang pemuda yang tampan dan rapi penampilannya. Kedua orang tuanya sangat menyayanginya. Ibunya adalah seorang wanita yang sangat kaya. Sandal Mush’ab adalah sandal al-Hadrami, pakaiannya merupakan pakaian yang terbaik, dan dia adalah orang Mekah yang paling harum sehingga semerbak aroma parfumnya meninggalkan jejak di jalan yang ia lewati.” (al-Jabiri, 2014: 19).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا رَأَيْتُ بِمَكَّةَ أَحَدًا أَحْسَنَ لِمَّةً ، وَلا أَرَقَّ حُلَّةً ، وَلا أَنْعَمَ نِعْمَةً مِنْ مُصْعَبِ بْنِ عُمَيْرٍ
“Aku tidak pernah melihat seorang pun di Mekah yang lebih rapi rambutnya, paling bagus pakaiannya, dan paling banyak diberi kenikmatan selain dari Mush’ab bin Umair.” (HR. Hakim).

Ibunya sangat memanjakannya, sampai-sampai saat ia tidur dihidangkan bejana makanan di dekatnya. Ketika ia terbangun dari tidur, maka hidangan makana sudah ada di hadapannya.

Demikianlah keadaan Mush’ab bin Umair. Seorang pemuda kaya yang mendapatkan banyak kenikmatan dunia. Kasih sayang ibunya, membuatnya tidak pernah merasakan kesulitan hidup dan kekurangan nikmat.

Menyambut Hidayah Islam
Orang-orang pertama yang menyambut dakwah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah istri beliau Khadijah, sepupu beliau Ali bin Abi Thalib, dan anak angkat beliau Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum. Kemudian diikuti oleh beberapa orang yang lain. Ketika intimidasi terhadap dakwah Islam yang baru saja muncul itu kian menguat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah secara sembunyi-sembunyi di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam radhiyallahu ‘anhu. Sebuah rumah yang berada di bukit Shafa, jauh dari pengawasan orang-orang kafir Quraisy.

Mush’ab bin Umair yang hidup di lingkungan jahiliyah; penyembah berhala, pecandu khamr, penggemar pesta dan nyanyian, Allah beri cahaya di hatinya, sehingga ia mampu membedakan manakah agama yang lurus dan mana agama yang menyimpang. Manakah ajaran seorang Nabi dan mana yang hanya warsisan nenek moyang semata. Dengan sendirinya ia bertekad dan menguatkan hati untuk memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah al-Arqam dan menyatakan keimanannya.

Kemudian Mush’ab menyembunyikan keislamannya sebagaimana sahabat yang lain, untuk menghindari intimidasi kafir Quraisy. Dalam keadaan sulit tersebut, ia tetap terus menghadiri majelis Rasulullah untuk menambah pengetahuannya tentang agama yang baru ia peluk. Hingga akhirnya ia menjadi salah seorang sahabat yang paling dalam ilmunya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya ke Madinah untuk berdakwah di sana.

Menjual Dunia Untuk Membeli Akhirat
Suatu hari Utsmani bin Thalhah melihat Mush’ab bin Umair sedang beribadah kepada Allah Ta’ala, maka ia pun melaporkan apa yang ia lihat kepada ibunda Mush’ab. Saat itulah periode sulit dalam kehidupan pemuda yang terbiasa dengan kenikmatan ini dimulai.

Mengetahui putra kesayangannya meninggalkan agama nenek moyang, ibu Mush’ab kecewa bukan kepalang. Ibunya mengancam bahwa ia tidak akan makan dan minum serta terus beridiri tanpa naungan, baik di siang yang terik atau di malam yang dingin, sampai Mush’ab meninggalkan agamanya. Saudara Mush’ab, Abu Aziz bin Umair, tidak tega mendengar apa yang akan dilakukan sang ibu. Lalu ia berujar, “Wahai ibu, biarkanlah ia. Sesungguhnya ia adalah seseorang yang terbiasa dengan kenikmatan. Kalau ia dibiarkan dalam keadaan lapar, pasti dia akan meninggalkan agamanya”. Mush’ab pun ditangkap oleh keluarganya dan dikurung di tempat mereka.

Hari demi hari, siksaan yang dialami Mush’ab kian bertambah. Tidak hanya diisolasi dari pergaulannya, Mush’ab juga mendapat siksaan secara fisik. Ibunya yang dulu sangat menyayanginya, kini tega melakukan penyiksaan terhadapnya. Warna kulitnya berubah karena luka-luka siksa yang menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat mengurus.

Berubahlah kehidupan pemuda kaya raya itu. Tidak ada lagi fasilitas kelas satu yang ia nikmati. Pakaian, makanan, dan minumannya semuanya berubah. Ali bin Abi Thalib berkata, “Suatu hari, kami duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan mengenakan kain burdah yang kasar dan memiliki tambalan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau pun menangis teringat akan kenikmatan yang ia dapatkan dahulu (sebelum memeluk Islam) dibandingkan dengan keadaannya sekarang…” (HR. Tirmidzi No. 2476).

Zubair bin al-Awwam mengatakan, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk dengan para sahabatnya di Masjid Quba, lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan kain burdah (jenis kain yang kasar) yang tidak menutupi tubuhnya secara utuh. Orang-orang pun menunduk. Lalu ia mendekat dan mengucapkan salam. Mereka menjawab salamnya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan mengatakan hal yang baik-baik tentangnya. Dan beliau bersabda, “Sungguh aku melihat Mush’ab tatkala bersama kedua orang tuanya di Mekah. Keduanya memuliakan dia dan memberinya berbagai macam fasilitas dan kenikmatan. Tidak ada pemuda-pemuda Quraisy yang semisal dengan dirinya. Setelah itu, ia tinggalkan semua itu demi menggapai ridha Allah dan menolong Rasul-Nya…” (HR. Hakim No. 6640).

Saad bin Abi Waqqash radhiayallahu ‘anhu berkata, “Dahulu saat bersama orang tuanya, Mush’ab bin Umair adalah pemuda Mekah yang paling harum. Ketika ia mengalami apa yang kami alami (intimidasi), keadaannya pun berubah. Kulihat kulitnya pecah-pecah mengelupas dan ia merasa tertatih-taih karena hal itu sampai-sampai tidak mampu berjalan. Kami ulurkan busur-busur kami, lalu kami papah dia.” (Siyar Salafus Shaleh oleh Ismail Muhammad Ashbahani, Hal: 659).

Demikianlah perubahan keadaan Mush’ab ketika ia memeluk Islam. Ia mengalami penderitaan secara materi. Kenikmatan-kenikmatan materi yang biasa ia rasakan tidak lagi ia rasakan ketika memeluk Islam. Bahkan sampai ia tidak mendapatkan pakaian yang layak untuk dirinya. Ia juga mengalami penyiksaan secara fisik sehingga kulit-kulitnya mengelupas dan tubuhnya menderita. Penderitaan yang ia alami juga ditambah lagi dengan siksaan perasaan ketika ia melihat ibunya yang sangat ia cintai memotong rambutnya, tidak makan dan minum, kemudian berjemur di tengah teriknya matahari agar sang anak keluar dari agamanya. Semua yang ia alami tidak membuatnya goyah. Ia tetap teguh dengan keimanannya.

Peranan Mush’ab Dalam Islam
Mush’ab bin Umair adalah salah seorang sahabat nabi yang utama. Ia memiliki ilmu yang mendalam dan kecerdasan sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya untuk mendakwahi penduduk Yatsrib, Madinah.

Saat datang di Madinah, Mush’ab tinggal di tempat As’ad bin Zurarah. Di sana ia mengajrkan dan mendakwahkan Islam kepada penduduk negeri tersebut, termasuk tokoh utama di Madinah semisal Saad bin Muadz. Dalam waktu yang singkat, sebagian besar penduduk Madinah pun memeluk agama Allah ini. Hal ini menunjukkan –setelah taufik dari Allah- akan kedalaman ilmu Mush’ab bin Umair dan pemahamanannya yang bagus terhadap Alquran dan sunnah, baiknya cara penyampaiannya dan kecerdasannya dalam berargumentasi, serta jiwanya yang tenang dan tidak terburu-buru.

Hal tersebut sangat terlihat ketika Mush’ab berhadap dengan Saad bin Muadz. Setelah berhasil mengislamkan Usaid bin Hudair, Mush’ab berangkat menuju Saad bin Muadz. Mush’ab berkata kepada Saad, “Bagaimana kiranya kalau Anda duduk dan mendengar (apa yang hendak aku sampaikan)? Jika engkau ridha dengan apa yang aku ucapkan, maka terimalah. Seandainya engkau membencinya, maka aku akan pergi”. Saad menjawab, “Ya, yang demikian itu lebih bijak”. Mush’ab pun menjelaskan kepada Saad apa itu Islam, lalu membacakannya Alquran.

Saad memiliki kesan yang mendalam terhadap Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu dan apa yang ia ucapkan. Kata Saad, “Demi Allah, dari wajahnya, sungguh kami telah mengetahui kemuliaan Islam sebelum ia berbicara tentang Islam, tentang kemuliaan dan kemudahannya”. Kemudian Saad berkata, “Apa yang harus kami perbuat jika kami hendak memeluk Islam?” “Mandilah, bersihkan pakaianmu, ucapkan dua kalimat syahadat, kemudian shalatlah dua rakaat”. Jawab Mush’ab. Saad pun melakukan apa yang diperintahkan Mush’ab.

Setelah itu, Saad berdiri dan berkata kepada kaumnya, “Wahai Bani Abdu Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang kedudukanku di sisi kalian?” Mereka menjawab, “Engkau adalah pemuka kami, orang yang paling bagus pandangannya, dan paling lurus tabiatnya”.

Lalu Saad mengucapkan kalimat yang luar biasa, yang menunjukkan begitu besarnya wibawanya di sisi kaumnya dan begitu kuatnya pengaruhnya bagi mereka, Saad berkata, “Haram bagi laki-laki dan perempuan di antara kalian berbicara kepadaku sampai ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya!”
Tidak sampai sore hari seluruh kaumnya pun beriman kecuali Ushairim.

Karena taufik dari Allah kemudian buah dakwah Mush’ab, Madinah pun menjadi tempat pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya hijrah. Dan kemudian kota itu dikenal dengan Kota Nabi Muhammad (Madinah an-Nabawiyah).

Wafatnya
Mush’ab bin Umair adalah pemegang bendera Islam di peperangan. Pada Perang Uhud, ia mendapat tugas serupa. Muhammad bin Syarahbil mengisahkan akhir hayat sahabat yang mulia ini. Ia berkata:
Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu membawa bendera perang di medan Uhud. Lalu datang penunggang kudak dari pasukan musyrik yang bernama Ibnu Qumai-ah al-Laitsi (yang mengira bahwa Mush’ab adalah Rasulullah), lalu ia menebas tangan kanan Mush’ab dan terputuslah tangan kanannya. Lalu Mush’ab membaca ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).

Bendera pun ia pegang dengan tangan kirinya. Lalu Ibnu Qumai-ah datang kembali dan menebas tangan kirinya hingga terputus. Mush’ab mendekap bendera tersebut di dadanya sambal membaca ayat yang sama:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).

Kemudian anak panah merobohkannya dan terjatuhlah bendera tersebut. Setelah Mush’ab gugur, Rasulullah menyerahkan bendera pasukan kepada Ali bin Abi Thalib (Ibnu Ishaq, Hal: 329).
Lalu Ibnu Qumai-ah kembali ke pasukan kafir Quraisy, ia berkata, “Aku telah membunuh Muhammad”.

Setelah perang usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memeriksa sahabat-sahabatnya yang gugur. Abu Hurairah mengisahkan, “Setelah Perang Uhud usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencari sahabat-sahabatnya yang gugur. Saat melihat jasad Mush’ab bin Umair yang syahid dengan keadaan yang menyedihkan, beliau berhenti, lalu mendoakan kebaikan untuknya. Kemudian beliau membaca ayat:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).

Kemudian beliau mempersaksikan bahwa sahabat-sahabatnya yang gugur adalah syuhada di sisi Allah. Setelah itu, beliau berkata kepada jasad Mush’ab, “Sungguh aku melihatmu ketika di Mekah, tidak ada seorang pun yang lebih baik pakaiannya dan rapi penampilannya daripada engkau. Dan sekarang rambutmu kusut dan (pakaianmu) kain burdah.”
Tak sehelai pun kain untuk kafan yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua kakinya. Sebaliknya, bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Sehingga Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah kebagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idkhir.”
Mush’ab wafat setelah 32 bulan hijrahnya Nabi ke Madinah. Saat itu usianya 40 tahun.

Para Sahabat Mengenang Mush’ab bin Umair
Di masa kemudian, setelah umat Islam jaya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu yang sedang dihidangkan makanan mengenang Mush’ab bin Umair. Ia berkata, “Mush’ab bin Umair telah wafat terbunuh, dan dia lebih baik dariku. Tidak ada kain yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah”. (HR. Bukhari no. 1273). Abdurrahman bin Auf pun menangis dan tidak sanggup menyantap makanan yang dihidangkan.

Khabab berkata mengenang Mush’ab, “Ia terbunuh di Perang Uhud. Ia hanya meninggalkan pakaian wool bergaris-garis (untuk kafannya). Kalau kami tutupkan kain itu di kepalanya, maka kakinya terbuka. Jika kami tarik ke kakinya, maka kepalanya terbuka. Rasulullah pun memerintahkan kami agar menarik kain ke arah kepalanya dan menutupi kakinya dengan rumput idkhir…” (HR. Bukhari no.3897).

Penutup
Semoga Allah meridhai Mush’ab bin Umair dan menjadikannya teladan bagi pemuda-pemuda Islam. Mush’ab telah mengajarkan bahwa dunia ini tidak ada artinya dibanding dengan kehidupan akhirat. Ia tinggalkan semua kemewahan dunia ketika kemewahan dunia itu menghalanginya untuk mendapatkan ridha Allah.

Mush’ab juga merupakan seorang pemuda yang teladan dalam bersemangat menuntut ilmu, mengamlakannya, dan mendakwahkannya. Ia memiliki kecerdasan dalam memahami nash-nash syariat, pandai dalam menyampaikannya, dan kuat argumentasinya.


Sumber:
al-Jabiri, Adnan bin Sulaiman. 2014. Shirah ash-Shahabi al-Jali: Mush’ab bin Umair. Jeddah: Dar al-Waraq al-Tsaqafah
Mubarakfury, Shafiyurrahman. 2007. ar-Rahiq al-Makhtum. Qatar: Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu-un al-Islamiyah

Kamis, 22 September 2016

Bahan Ajar Ilmu Kalam Kelas MA. Sarji Ar-Rasyid



Sejarah Munculnya Persoalan-Persoalan Kalam
Bahan Ajar Ilmu Kalam MA Sarji Ar-Rasyid Kelas XI
Oleh : Haji Sampoerna

Menurut Harun Nasution munculnya persoalan ilmu kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan r.a yang kemudian berujung pada penolakan Muawiyah atas terpilihnya Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah keempat dalam sejarah Islam. Ketegangan itu mengkristal dengan timbulnya Perang Shiffin yang selanjutnya berakhir dengan adanya tahkim (arbitrase) antara pihak Ali dengan pihak Muawiyah. Sikap Sayyidina Ali yang menerima tipu daya Amr bin Al Ash seorang utusan dari pihak Muawiyah dalam peristiwa tahkim itu banyak tidak disetujui oleh tentaranya, walaupun beliau sendiri dalam keadaan terpaksa menyetujui tahkim tersebut. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang sedang terjadi waktu itu tidak dapat diselesaikan dengan tahkim tetapi hanya dapat diselesaikan dengan hukum Allah yaitu harus kembali kepada aturan-aturan Al-Qur’an. La hukma illa lillah atau la hukma illa Allah, itulah yang kemudian menjadi semboyan mereka. Mereka memandang bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib telah melakukan kesalahan hingga mereka meninggalkan barisannya. Dan kelompok inilah yang kemudian dalam sejarah perkembangan Islam dikenal dengan nama kelompok Khawarij (orang yang keluar dan memisahkan diri).[1]
Selain pasukan yang membelot atau keluar dari barisan Ali itu masih ada para pasukan yang masih tetap setia dengan Ali, dan kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan nama kelompok Syi’ah yang kemudian pada perkembangan selanjutnya akan terbagi lagi menjadi beberapa sekte.
Persolan kalam yang pertama kali muncul adalah masalah siapa yang kafir ? dan siapa yang masih tetap muslim / tidak kafir ? Khawarij memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim tersebut yaitu Ali, Muawiyah, Amr bin Al Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 44 :
إِنَّآ أَنزَلۡنَا ٱلتَّوۡرَىٰةَ فِيهَا هُدٗى وَنُورٞۚ يَحۡكُمُ بِهَا ٱلنَّبِيُّونَ ٱلَّذِينَ أَسۡلَمُواْ لِلَّذِينَ هَادُواْ وَٱلرَّبَّٰنِيُّونَ وَٱلۡأَحۡبَارُ بِمَا ٱسۡتُحۡفِظُواْ مِن كِتَٰبِ ٱللَّهِ وَكَانُواْ عَلَيۡهِ شُهَدَآءَۚ فَلَا تَخۡشَوُاْ ٱلنَّاسَ وَٱخۡشَوۡنِ وَلَا تَشۡتَرُواْ بِ‍َٔايَٰتِي ثَمَنٗا قَلِيلٗاۚ وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٤٤
Artinya :
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah: 44)

Persolan-persolan itulah yang kemudian melahirkan 3 aliran / sekte teologi dalam Islam, yaitu :
1.       Khawarij, yang berpendapat bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir dalam arti telah keluar dari Islam (murtad) dan wajib dibunuh.
2.       Murji’ah, yang berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar masih mukmin bukan kafir. Adapun soal dosa yang dikerjakannya hal iru terserah kepada Allah SWT untuk mengampuni atau menghukumnya.
3.       Mu’tazilah, yang berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukan kafir dan bukan pula Mukmin, tetapi di antara keduanya, yang kemudian dikenal dengan istilah al-manzilah manzilatain.
Demikianlah masalah status bagi pelaku dosa besar ini melahirkan 3 aliran kalam sebagaimana disebutkan di atas. Sementara itu lahir pula 2 aliran kalam yang mempunyai paham saling bertentangan satu dengan lainnya yaitu aliran Jabariyah dan Qadariyah. Persoalan yang hangat dibicarakan oleh kedua aliran kalam ini adalah tentang “perbuatan manusia”, atau dikenal dengan nama af’al al ibad, masalah yang dibicarakan ialah apakah perbuatan manusia itu perbuatan Tuhan atau perbuatan manusia secara hakiki.
Aliran Jabariyah berpendapat perbuatan manusia itu pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan, karena manusia tidak mampu mewujudkan suatu perbuatan; dikatakan sebagai perbuatan manusia hanya dalam arti kiasan.[2]
Sedangkan lawan dari aliran Jabariyah adalah aliran Qadariyah yang menurut aliran ini perbuatan manusia itu pada hakikatnya adalah perbuatan manusia itu sendiri yang terwujud melalui kemampuan dan kehendak bebas manusia sendiri. Paham qadariyah ini selanjutnya dikembangkan oleh aliran Mu’tazilah pada perkembangan selanjutnya.
Dalam perkembangan selanjutnya Mu’tazilah dikenal sebagai aliran sangat dipengaruhi oleh filsafat bercorak rasional dan liberal. Pada puncak perkembangannya aliran Mu’tazilah mendapat dukungan dari pihak penguasa Abbasiyyah, Khalifah Ibn al-Ma’un (813 – 833 M) yang menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara. Merasa mendapat dukungan pemerintah, maka aliran Mu’tazilah memaksakan dengan kekerasan ajaran-ajaran mereka. Terutama bahwa Al-Qur’an itu makhluk dan tidak qadim. Peristiwa pemkasaan dan tindak kekerasan ini di dalam sejarah umat islam dikenal dengan nama mihnah, kemudian cara pemkasaan yang dilakukan aliran Mu’tazilah ini mulai berkurang ketika khalifah al-Ma’mun wafat dan kemudian digantikan oleh Khalifah al-Mutawakkil, beliau mencabut aliran Mu’tazilah sebagi mazhab resmi negara dan melarang ajaran tentang kemakhklukan al-Qur’an ini berkembang, lebih dari itu beliau lebih cenderung kepada ahl hadits, yang pada zaman al-Ma’mun mendapat tekanan dan tindak kekerasan di masa mihnah (ujian pertanyaan al-Qur’an)
Akibatnya aliran Mu’tazilah kehilangan simpati umat, bahkan dibenci dan dimaki dan jasa mereka di dunia kalam terlupakan. Di saat umat masih trauma dengan peristiwa mihnah maka tampillah Abu Hasan al-Asy’ari dengan ajaran kalamnya yang bertujuan untuk menentang aliran Mu’tazilah yang kemudian dikenal dengan nama aliran Asy’ariyah. Di samping aliran Asy’ariyah ini berkembang pula suatu aliran di Samarkand yang juga bertujuan menentang aliran Mu’tazilah yaitu aliran Maturidiyah yang dididrikan oleh Abu Mansur al-Maturidi. Kemudian kedua aliran kalam yang bertujuan sama ini dikenal dengan aliran ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah.

Faktor-faktor Kelahiran Ilmu Kalam
Sebab lahirnya ilmu kalam / ilmu tauhid sebenarnya banyak sekali, namun bila dikaji secara keseluruhan ia dapat dikelompokkan menjadi 2 faktor. Ahmad Amin dalam bukunya Dhuha Islam menyebutkan, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya ilmu kalam adalah :
1.       Faktor Intern
Faktor intern adalah faktor lahirnya ilmu kalam yang berasal dari Islam itu sendiri yaitu :
a.       Al-Qur’an di samping berisi ketauhidan, kenabian dan sebagainya berisi pula semacam apologi dan polemik terutama terhadap agama-agama yang ada pada waktu seperti itu.
b.      Pada mulanya keimanan umat Islam tidak dipermasalahkan secara mendalam, persoalan perdebatan mulai muncul setelah Nabi Muhammad SAW wafat, di samping umat Islam sudah tersebar kemana-mana juga karena pengaruh peradaban dan kebudayaan asing seperti filsafat, penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang kelihatannya bertentangan namun sebenarnya tidak. Hal-hal itulah yang menjadi salah satu penyebab lahirnya ilmu kalam itu.
c.       Masalah politik tentang khilafah juga menjadi salah satu penyebab berkembangnya ilmu kalam ini. Dimulai dari terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan yang penilaiannya berlarut-larut tentang status si pembunuh apakah berdosa atau tidak. Masalah khilafah apakah termasuk masalah agama atau masalah keduniaan, dan lain sebagainya.[3]
Sebenarnya soal khilafah adalah soal politk, agama tidak mengharuskan kaum muslimin mengambil bentuk khilafah tertentu tetapi hanya dasar yang umum yaitu kepentingan umum. Peristiwa terbunuhnya Khalifah utsman bin Affan adalah menjadi titik yang jelas dari permulaan berlarut-larutnya perselisihan bahkan sampai terjadi perang saudara antar sesama kaum muslimin. Sejak saat itulah ada bebrapa penilaian dan penganalisisan terhadap terbunuhnya khalifah Utsman tersebut. Menurut segolongan kecil, Utsman adalah kafir dan pembunuhnya berada dipihak yang benar karena perbuatannya yang salah selama memegang khilafah. Sebaliknya pihak lain mengatakan bahwa pembunuhan atas khalifah Utsman adalah suatu kejahatan dan dosa yang besar dan status pembunuhnya adalah kafir karena Utsman adalah khalifah yang sah dan salah satu dari prajurit Islam yang setia. Penilaian yang saling bertentangan inilah yang pada akhirnya akan menimbulkan perpecahan bahkan peperangan ketika sayyidina Ali r.a menjadi khalifah.
Dari peristiwa itulah kemudian muncul soal-soal lainnya soal iman dan hakikatnya, berkurang atau bertambahnya, soal imamah, dan soal-soal lainnya. Kemudian dilanjutkan lagi dengan soal dosa, dari sumber inilah akan bisa dengan mudah divonis orang yang melakukan pembunuhan itu. Kemudian timbul lagi persoalan apakah perbuatan itu bersumber dari manusia ataukah berasal dari Tuhan yang kemudian melahirkan kaum Jabariyah dan Qadariyah dan persoalan-persolan yang akan berkembang lainnya.[4]
Selain itu, persoalan kecenderungan umat Islam pada waktu itu dipengaruhi oleh golongan dan fanatisme kesukuan yang menyebabkan umat Islam terpecah belah.
Perpecahan umat ini pertama kali adalah tentang masalah Imamah, yang menyebabkan terjadinya pertengkaran antar umat Islam dan pada akhirnya terjadi perpecahan ditubuh umat Islam menjadi beberapa firqah (kelompok).
Pada awalnya, ketika Nabi Saw. meninggal dunia, jenazah Nabi yang suci itu sedang dipersiapkan untuk dimandikan dan dimakamkan, kaum Anshar berkumpul di balairung (saqifah) untuk membicarakan masalah imamah atau khilafah. Mereka berpendapat bahwa kepemimpinan adalah hak kaum Anshar, karena mereka berpendapat merekalah yang telah berjasa dalam membantu Nabi. Pemuka mereka Sa’ad bin ‘Ubadah berupaya dengan segala kemampuanya menarik simpati massa agar bergabung dengan partainya dengan memberikan alasan-alasan.
Dan dari segi lain, mendengar kaum Anshar berkumpul di Balairung (saqifah) dengan segera meninggalkan jenazah Nabi bergabung dengan mereka dan menimpali alasan-alasan yang dilontarkan kaum Anshar. Kaum Muhajirin mengatakan: sungguh merekalah yang pertamakali menyembah dan beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya di muka bumi ini, mereka adalah sahabat dan kerabat dekat Nabi serta manusia yang paling berhak dan patut dalam masalah khilafah ini.
Memang heboh memuncaknya pertengkaran memperebutkan jabatan khalifah (antara kaum Muhajirin dan Anshar) pada akhirnya mereda. Sementara jabatan Khalifah dikukuhkan bagi Abu Bakar as-Shiddiq r.a dengan dukungan dari Anshar, yaitu Bisyir ibn Sa’ad saudara sepupu Sa’ad bin ‘Ubadah yang berbaiat kepada Abu Bakar. Dengan demikian padamlah harapan Sa’ad bin ‘Ubadah beserta kaumnya Khazraj untuk mengambil alih jabatan khalifah.
Sementara Muhajirin yang diwakili oleh Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah menginginkan agar khalifah dipilih dari partai mereka. Bagi mereka, orang pertama yang membantu perjuangan Rasulullah Saw., disamping itu, mereka masih kerabat dekat dengan Rasulullah Saw., Abu Bakar al-Shidiq lebih memilih Abu Ubaidah atau Umar bin Khatab sebagai khalifah. Namun Umar dan Abu ubaidah justru lebih mengedepankan Abu Bakar al-Shiddiq dengan alasan karena beliau orang yang ditunjuk Rasulullah sebagai imam shalat ketika Rasul sakit. Basyir bin Saad yang berasal dari suku Khazraj melihat bahwa perselisihan antara dua kubu tersebut jika dibiarkan dapat mengakibatkan perpecahan dikalangan umat Islam.
Untuk menghindari hal itu, ia angkat bicara dan menerangkan kepada para peserta sidang bahwa semua yang dilakukan kaum muslimin, baik dari partai Muhajirin ataupun Anshar hanyalah untuk mencari ridha Allah Swt. Tidak layak jika kedua partai mengungkit-ungkit kebaikan dan keutamaan masing-masing demi kepentingan politik. Kemudian Basyir bin Saat membait Abu Bakar al-Shidiq. Sikap Basyir dikecam oleh Habban bin Mundzir dari partai Anshar. Ia dianggap telah menyalahi kesepakatan Anshar untuk memilih khalifah dari partainya. Namun Basyir menjawab, “Demi Allah tidak demikian. Saya membenci perselisihan dengan suku yang memang memiliki hak untuk menjadi khalifah. Mayoritas suku Aus dari partai Anshar mengedepankan Saad bin Ibadah sebagai khalifah. Namun kemudian Asyad bin Khudair yang juga dari suku Aus berdiri membaiat Abu Bakar. Ia menyeru pada para hadirin untuk mengikuti jejaknya. Merekapun bangkit ikut membaiat dan memberikan dukungan pada Abu Bakar al-Shidiq. Terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama umat Islam.
Dalam pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulannya bahwa masing-masing suku atau golongan menginginkan penganti nabi Muhammad sebagai khalifa adalah berasal dari golongan mereka, terutama dari suku ansahr dan muhajirin yang merasa berhak untuk menjadi penganti khalifah. Abu Bakar al-Shidiq lebih memilih Abu Ubaidah atau Umar bin Khatab sebagai khalifah. Namun Umar dan Abu ubaidah justru lebih mengedepankan Abu Bakar al-Shiddiq. Akhirnya melalui kesepakatan Terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama umat Islam. Kemudian abu bakar digantikan umar ibn alkhatab, dan umar digantikan oleh usman bin affan, dan usman digantikan oleh ali bin abi thalib.
Pada masa pemerintahan dua khalifah pertama, Abu Bakar dan Umar, roda pemerintahan berjalan dengan baik dan kehidupan politik dapat dikatakan cukup tenang. Perubahan ini bermula ketika Umar bin khatthab r.a. merasa khawatir hal tersebut akan terjadi. Di antara hal-hal yang paling ditakuti ketika hampir ajalnya ialah bahwa penggantinya akan mengadakan perubahan politik yang telah diikuti sejak masa Rasulullah saw. Sampai masanya sendiri, yaitu yang berhubungan dengan perlakuan terhadap kabilah-kabilah dan suku-suku mereka sendiri, sanak kerabat serta keluaraga mereka. Itulah sebabnya ia memanggil calon-calon penggantinya sebanyak tiga orang, yaitu Usman, Ali, dan Sa’aad abi waqqash r.a., kepada mereka satu-persatu ia pesankan, seandainya ia yang menggantikan kedudukan Umar, agar tidak mengangkat kaum kerabatnya sebagai penguasa atas kaum muslimin.
Tatkala Umar bin Khatthab mendapat tikaman, dia menyerahkan masalah kenegaraan kepada enam orang sahabat. Semua sahabat yang enam sama-sama enggan untuk menjadi khalifah hingga akhirnya mereka berhasil memilih Usman bin Affan. Usman bin Affan sama sekali belum pernah berambisi untuk memegang kendali kekuasaan itu. Saat dia dibaiat sebagai khalifah, dia telah berusia tujuh puluh tahun. Masa pemerintahan Usman dipenuhi dengan penaklukan-penaklukan daerah-daerah sebagai penyempurna penaklukan di masa pemerintahan Umar.
Utsman bin affan termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum keluarganya terdiri dari orang aristocrat mekkah yang karena pengalaman dagang mereka, mempunyai pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam pemimpin administrasi deerah-daerah di luar semenanjung Arabia yang bertambah banyak masuk ke bawah kekuasaan islam.
Pada masa pemerintahan dua khalifah pertama, Abu Bakar dan Umar, roda pemerintahan berjalan dengan baik dan kehidupan politik dapat dikatakan cukup tenang. Namun, pada masa khalifah Utsman keadaan mulai berubah terutama pada paruh kedua dari 12 tahun masa pemerintahannya. Secara pribadi, khalifah Utsman bin affan tidak berbeda dengan khalifah pendahulunya. Namun, keluarganya dari bani umayah terus mendorong dan utsman sendiri pun lemah menghadapi rongrongan serta ambisi dari keluarga terebut sehinnga ia terpaksa memberikan berbagai fasilitas kepada mereka
Ahli sejarah menggambarkan Usman bin affan sebagai orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangakat mereka menjadi gubernur di daerah yang tunduk kepada kekuasaan islam . gubernur- gubernur yang diangkat Umar ibn al-khatab, khalifah yang terkenal kuat dan tak memikirkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh usman. Tindakan-tindakan politik yang dijalankan usman ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya.
Setelah Islam meluas ke mana-mana, tiba-tiba di akhir masa pemerintahan Usman, terjadi suatu persoalan yang ditimbulkan oleh tindakan Usman yang kurang mendapat simpati dari sebagian pengikutnya. Tindakan Usman yang kurang sesuai dengan kebutuhan umat pada saat itu, di antaranya ialah kurang pengawasan terhadap beberapa pejabat penting dalam pemerintahan, sehingga para pelaksana di lapangan tidak bekerja secara maksimal, diperparah lagi dengan adanya sikap nepotisme dari keluarganya. Pada saat pemerintahannya, Usman sedikit demi sedikit mulai menunjuk kerabatnya untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan memberikan kepada mereka keistimewaan-keistimewaan lain yang menyebabkan timbulnya protes-protes dan kritikan-kritikan rakyat secara umum.
Selanjutnya Berkobarlah fitnah besar di tengah kaum muslimin yang dikobarkan oleh Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman yang pura-pura masuk Islam. Dia kemudian menaburkan keraguan di tengah manusia tentang akidah mereka dan mengecam Usman dan para gubernurnya. Dia dengan gencar mengajak semua orang untuk menurunkan Usman dan menggantinya dengan Ali sebagai usaha menabur benih fitnah dan benih perpecahan.
Kebijakan politik Utsman yang merangkul sanak keluarga ini menimbulkan rasa tidak simpatik terhadap dirinya. Para sahabat yang semula menyokong Utsman, setelah melihat sikap dan tindakan yang kurang tepat itu, kini mulai menjauh darinya. Sementara itu, perasaan tidak senang muncul pula di daerah-daerah. Terutama di mesir, sebagai reaksi tidak senang terhadap dijatuhkannya Umar bin al-ash dari jabatan gubernurnya untuk digantikan oleh Abdullah bin sa’ad bin abi sarah, salah seorang keluarga utsman.sekitar lima ratus orang berkumpul dan kemudian bergerak menujuh Madinah untuk melakukan protes. Kehadiran para pelaku aksi protes ini akhirnya berakibat fatal bagi diri khalifah Utsman, ia terbunuh oleh pemuka akibat protes tersebut .
Ali sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talha dan Zubeir dari mekah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan dari Aisyah –Talhah-Zubeir ini di patahkan Ali dalam pertempuran yang terjadi diIrak tahun 656. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan aisyah dikirim kembali ke mekkah. Tantangan kedua datang dari Muawiah Gubernur Damaskus dan keluarga yang dekat bagi Usman. Sebagaimana halnya Tahlah dan Zubeir , ia tak mau mengakui Ali sebagai khalifah . Ia menuntut kepada ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak mesir, yang datang ke madinah dan kemudian membunuh Usman adalah Muhamad Ibn abi Bakr,anak angkat dari Ali Ibn Abi Talib. Dan pula Ali tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-itu ,bahkan muhamad Ibn Abi Bakr diangkat menjadi Gubernur Mesir. Karena tuntutan ini tidak mendapat tanggapan serius, akhirnya Muawiyah lebih lanjut menuduh Ali terlibat paling tidak melindungi para pelaku pembunuhan khalifah Utsman. Pembangkangan Muawiyah ini rupanya juga berakhir pada bentrokan senjata. Peperangan yang terjadi antara pasukan khalifah Ali dan pasukan Muawiyah dalam sejarah Islam dikenal dengan perang shiffin.
Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di siffin, tentara Ali dapat mendesak tentara Muawiyah sehingga yang disebut terakhir dapat dipastikan akan kalah dan bersiap-siap meninggalkan medan pertempuran. Akan tetapi tangan kanan Muawiyah, Amr Ibn al-ash yang terkenal sebagai orang yang licik, meminta berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an ke atas. Qurra yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya menerimah tawaran itu dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan mengatasnamakan arbitrase. Sebagai pengantara diangkat dua orang: ‘Amr ibn al-ash dari pihak Muawiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr mengalahkan perasaan taqwa Abu Musa. Sejarah mengatakan antara keduanya terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan , Ali dan Muawiyah. Tradisi mengatakan bahwa Abu Musa al-Asy’ari , sebagai yang tertua terlebih dahulu berdiri mengemukakan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah di setujui, Amr Ibn al-ash, mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali yang telah diumumkan al-Asy’ari, tetapi menolak penjatuhan Muawiyah.
Sikap Ali yang menerimah tipu muslihat Amr bin al-ash, utusan dari pihak Muawiyah dalam tahkim, sungguhpun dalam keadaan terpaksa , tidak di setujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat di putuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-qur’an. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau la hukma illa Allah (tidak ada perantara selain Allah) menjadi semboyang mereka. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam , mereka terkenal dengan nama khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau secerders. Di luar pasukan yang membelot Ali, ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok syi’ah.
Bagaimanapun peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Muawiyah yang legal menjadi khalifah sebenarnya hanyalah Ali sedangkan Muawiyah kedudukannya tak lebih dari Gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak Ali dan tak mau meletakan jabatannya, sampai ia mati terbunuh di tahun 661 M. Dari uraian diatas dapat di simpulkan , bahwa ketika Ali bin abi thalib di baiat menjadi khalifah pengganti usman bin affan keadaan Negara dalam keadaan kacau atau tidak stabil akhirnya mempengaruhi pemerintahannya selanjutnya. Salah satu persoalan yang sedang dihadapi adalah peristiwa pembunuhan usman bin affan. Saat Ali bin Abi thalib menjadi khalifah, Muawiyah yang masih ada hubungan kekeluargaan dengan Usman bin Affan yaitu sama-sama dari bani Umayah menuntut agar supaya Ali mencari siapa pembunuh Usman Bin Affan dan menghukumnya. Tetapi permintaan itu tidak mendapat tanggapan yang serius dari ali. Akhirnya terjadilah pertempuran antara Ali dan Mu’awiyah yang merujuk pada perang siffin yang berakhir dengan peristiwa tahkim atau arbitrase.
Kelompok khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang bener kerena Ali merupakan khalifah sah yang dibai’at mayoritas umat islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah. Lagi pula berdasarkan estimasi khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenengan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerimah tipu licik ajakan damai Muawiyah, kemengan yang hampir diraih itu menjadi raib.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok muawiyah sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan itu. Namun, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama ahli Qurra seperti Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki At-Tamimi dan Zaid bin Husein Ath-Tha’I, dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukannya) untuk menghentikan pasukannya.
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai (hakam)nya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan tahkim , yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya, dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan orang-orang khawarij. Mereka membelot dengan mengatakan, “mengapa kalian berhukum kepada hukumnya manusia. Tidak ada hukum selain hukum yang ada disisi Allah.” Imam Ali menjawab, “itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan keliru.” Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura. Persoala- persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagaimana digambarkan di atas inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi.
######
Dari tulisan di atas, menurut penulis dapat disimpulkan bahwa umat Islam terpecah menjadi bermacam-macam kelompok. Hal ini tidak hanya disebabkan pandangan dalam memahami ajaran agama, namun juga disebabkan oleh faktor politik yang terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad sampai generasi ulama khalaf. Hal ini sesuai dengan prediksi Nabi dalam haditsnya sebagai berikut :
عَنْ أَبِي عَامِرٍ الْهَوْزَنِيِّ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ أَنَّهُ قَامَ فِينَا فَقَالَ أَلَا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِينَا فَقَالَ أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَة
Artinya : Dari Abu ‘Aamir Al-Huzaniy, dari Mu’awiyyah bin Abi Sufyan bahwasannya ia (Mu’awiyyah) pernah berdiri di hadapan kami, lalu ia berkata : Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bediri di hadapan kami, kemudian beliau bersabda : “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan. (Adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan satu golongan akan masuk surga, yaitu ”Al-Jama’ah”.

Umat Islam terpecah menjadi 7 golongan besar yaitu:
1.      Mu'tazilah, yaitu kaum yang mengagungkan akal pikiran dan bersifat filosofis, aliran ini dicetuskan oleh Washil bin Atho (700-750 M) salah seorang murid Hasan Al Basri. Golongan Mu'tazilah pecah menjadi 20 golongan.
2.      Syiah, yaitu kaum yang mengagung-agungkan Sayyidina Ali , mereka tidak mengakui khalifah Rasyidin yang lain seperti Khlifah Sayyidina Abu Bakar, Sayidina Umar dan Sayyidina Usman bahkan membencinya. Kaum ini di sulut oleh Abdullah bin Saba, seorang pendeta yahudi dari Yaman yang masuk islam. Ketika ia datang ke Madinah tidak mendapat perhatian dari khalifah dan umat islam lainnya sehingga ia menjadi jengkel. Golongan Syiah pecah menjadi 22 golongan.
3.      Khawarij, yaitu kaum yang sangat membenci Sayyidina Ali bin Abi Thalib, bahkan mereka mengkafirkannya. Salah satu ajarannya siapa saja yang melakukan dosa besar maka di anggap kafir. Golongan Khawarij Pecah menjadi 20 golongan.
4.      Murji’ah. Yaitu orang-orang yang meyakini bahwa seorang mukmin cukup hanya mengucapkan “Laailahaillallah” saja dan ini terbantah dengan pernyataan hadits bahwa dia harus mencari dengan hal itu wajah Allah, dan orang yang mencari tentunya melakukan segala sarananya dan konsekuensi-konsekuensi pencariannya sehingga dia mendapatkan apa yang dia cari dan tidak cukup hanya mengucapkan saja. Jadi menurut al-murji’ah bahwa cukup mengucapkan “Laailahaillallah” dan setelah itu dia berbuat amal apa saja tidak akan mempengaruhi keimanannya, maka ini jelas bertentangan dengan hadits “dia mencari dengan itu wajah Allah”, maka ini adalah bentuk kesesatan al-murji’ah. Golongan Murjiah pecah menjadi 5 golongan
5.      Najariyah, Kaum yang menyatakan perbuatan manusia adalah mahluk, yaitu dijadikan Tuhan dan tidak percaya pada sifat Allah yang 20. Golongan Najariyah pecah menjadi 3 golongan.
6.      Jabbariyah, Kaum yang berpendapat bahwa seorang hamba adalah tidak berdaya apa-apa (terpaksa), ia melakukan maksiyat semata-mata Allah yang melakukannya. Golongan Jabbariyah pecah menjadi 1 golongan.
7.      Al-Musyabbihah / Mujasimah, kaum yang menserupakan pencipta yaitu Allah dengan manusia, misal bertangan, berkaki, duduk di kursi. Golongan Al Musyabbihah / Mujasimah pecah menjadi 1 golongan.
8.      Ahlus Sunah Wal Jama'ah. Golongan mayoritas umat Islam yang di dalam hadits disebutkan bahwa golongan inilah yang selamat. Secara etimologi Ahlu adalah kelompok/keluarga/pengikut. Sunnah adalah perbuatan-perbuatan Rasulullah yang diperagakan beliau untuk menjelaskan hukum-hukum Al Qur'an yang dituangkan dalam bentuk amalan. Al Jama'ah yaitu Al Ummah (umat) yaitu sekumpulan orang-orang beriman. Menurut istilah Ahli Sunah wal Jama'ah adalah sekelompok orang yang mentaati sunah Rasulullah secara berjama'ah, atau satu golongan umat islam yang mengikuti ajaran Rasulullah dan para sahabatnya.


[1]W.Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1987), h. 10 . lihat M.Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid,(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 91 – 97. Lihat Drs H.M. Amin Nurdin, MA dan Drs. Afifi Fauzi Abbas, MA, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Teologi / Ilmu Kalam, (PT. Pustaka Antara kerjasama dengan LSIK, 1996), h. XII
[2]Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, jilid I, (Dar al-Fikr al-Arabi, t.t), h. 115 dikutip dari Sejarah Pemikiran Dalam islam (Ilmu Kalam II),(Jakarta: PT. Pustaka Antara bekerjasama dengan LSIK, 1996), h. 7
[3]Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyyah II (Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 51
[4] Ahmad  Hanafi, , h. 9 - 10