MA. Sarji Ar-Rasyid
Generasi Yang Berilmu, Berprestasi dan Berakhlaqul Karimah
Cari Blog Ini
Sabtu, 08 Desember 2018
Minggu, 20 November 2016
Mush’ab bin 'Umair, Kecintaan dan Keteguhannya Terhadap Agama dan Rasul-Nya
Mush’ab bin
'Umair,
Kecintaan dan Keteguhannya Terhadap Agama dan Rasul-Nya
Masa muda
atau usia remaja adalah saat orang-orang mulai mengenal dan merasakan manisnya
dunia. Pada fase ini, banyak pemuda lalai dan lupa, jauh sekali lintasan
pikiran akan kematian ada di benak mereka. Apalagi bagi mereka orang-orang yang
kaya, memiliki fasilitas hidup yang dijamin orang tua. Mobil yang bagus, uang
saku yang cukup, tempat tinggal yang baik, dan kenikmatan lainnya, maka pemuda
ini merasa bahwa ia adalah raja.
Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang pemuda
yang kaya, berpenampilan rupawan, dan biasa dengan kenikmatan dunia. Ia adalah
Mush’ab bin Umair. Ada yang menukilkan kesan pertama al-Barra bin Azib ketika
pertama kali melihat Mush’ab bin Umair tiba di Madinah. Ia berkata,
رَجُلٌ لَمْ
أَرَ مِثْلَهُ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ الجَنَّةِ
“Seorang laki-laki, yang aku belum pernah melihat
orang semisal dirinya. Seolah-olah dia adalah laki-laki dari kalangan penduduk
surga.”
Ia adalah di antara pemuda yang paling tampan dan kaya
di Kota Mekah. Kemudian ketika Islam datang, ia jual dunianya dengan kekalnya
kebahagiaan di akhirat.
Kelahiran dan Masa Pertumbuhannya
Mush’ab bin Umair dilahirkan di masa jahiliyah, empat
belas tahun (atau lebih sedikit) setelah kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan
pada tahun 571 M (Mubarakfuri, 2007: 54), sehingga Mush’ab bin Umair dilahirkan
pada tahun 585 M.
Ia merupakan pemuda kaya keturunan Quraisy; Mush’ab
bin Umair bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Abdud Dar bin Qushay bin Kilab
al-Abdari al-Qurasyi. Dalam Asad al-Ghabah, Imam Ibnul Atsir
mengatakan, “Mush’ab adalah seorang pemuda yang tampan dan rapi penampilannya.
Kedua orang tuanya sangat menyayanginya. Ibunya adalah seorang wanita yang
sangat kaya. Sandal Mush’ab adalah sandal al-Hadrami, pakaiannya merupakan
pakaian yang terbaik, dan dia adalah orang Mekah yang paling harum sehingga
semerbak aroma parfumnya meninggalkan jejak di jalan yang ia lewati.”
(al-Jabiri, 2014: 19).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَا رَأَيْتُ
بِمَكَّةَ أَحَدًا أَحْسَنَ لِمَّةً ، وَلا أَرَقَّ حُلَّةً ، وَلا أَنْعَمَ
نِعْمَةً مِنْ مُصْعَبِ بْنِ عُمَيْرٍ
“Aku tidak pernah melihat seorang pun di Mekah yang
lebih rapi rambutnya, paling bagus pakaiannya, dan paling banyak diberi
kenikmatan selain dari Mush’ab bin Umair.” (HR. Hakim).
Ibunya sangat memanjakannya, sampai-sampai saat ia
tidur dihidangkan bejana makanan di dekatnya. Ketika ia terbangun dari tidur,
maka hidangan makana sudah ada di hadapannya.
Demikianlah keadaan Mush’ab bin Umair. Seorang pemuda
kaya yang mendapatkan banyak kenikmatan dunia. Kasih sayang ibunya, membuatnya
tidak pernah merasakan kesulitan hidup dan kekurangan nikmat.
Menyambut Hidayah Islam
Orang-orang pertama yang menyambut dakwah Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah istri
beliau Khadijah, sepupu beliau Ali bin Abi Thalib, dan anak angkat beliau Zaid
bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum. Kemudian diikuti oleh beberapa orang
yang lain. Ketika intimidasi terhadap dakwah Islam yang baru saja muncul itu
kian menguat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah secara
sembunyi-sembunyi di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam radhiyallahu ‘anhu.
Sebuah rumah yang berada di bukit Shafa, jauh dari pengawasan orang-orang kafir
Quraisy.
Mush’ab bin Umair yang hidup di lingkungan jahiliyah;
penyembah berhala, pecandu khamr, penggemar pesta dan nyanyian, Allah beri
cahaya di hatinya, sehingga ia mampu membedakan manakah agama yang lurus dan
mana agama yang menyimpang. Manakah ajaran seorang Nabi dan mana yang hanya
warsisan nenek moyang semata. Dengan sendirinya ia bertekad dan menguatkan hati
untuk memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di
rumah al-Arqam dan menyatakan keimanannya.
Kemudian Mush’ab menyembunyikan keislamannya
sebagaimana sahabat yang lain, untuk menghindari intimidasi kafir Quraisy.
Dalam keadaan sulit tersebut, ia tetap terus menghadiri majelis Rasulullah
untuk menambah pengetahuannya tentang agama yang baru ia peluk. Hingga akhirnya
ia menjadi salah seorang sahabat yang paling dalam ilmunya. Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya ke Madinah untuk berdakwah di
sana.
Menjual Dunia Untuk Membeli Akhirat
Suatu hari Utsmani bin Thalhah melihat Mush’ab bin
Umair sedang beribadah kepada Allah Ta’ala, maka ia pun melaporkan apa
yang ia lihat kepada ibunda Mush’ab. Saat itulah periode sulit dalam kehidupan
pemuda yang terbiasa dengan kenikmatan ini dimulai.
Mengetahui putra kesayangannya meninggalkan agama
nenek moyang, ibu Mush’ab kecewa bukan kepalang. Ibunya mengancam bahwa ia
tidak akan makan dan minum serta terus beridiri tanpa naungan, baik di siang
yang terik atau di malam yang dingin, sampai Mush’ab meninggalkan agamanya.
Saudara Mush’ab, Abu Aziz bin Umair, tidak tega mendengar apa yang akan
dilakukan sang ibu. Lalu ia berujar, “Wahai ibu, biarkanlah ia. Sesungguhnya ia
adalah seseorang yang terbiasa dengan kenikmatan. Kalau ia dibiarkan dalam
keadaan lapar, pasti dia akan meninggalkan agamanya”. Mush’ab pun ditangkap
oleh keluarganya dan dikurung di tempat mereka.
Hari demi hari, siksaan yang dialami Mush’ab kian
bertambah. Tidak hanya diisolasi dari pergaulannya, Mush’ab juga mendapat
siksaan secara fisik. Ibunya yang dulu sangat menyayanginya, kini tega
melakukan penyiksaan terhadapnya. Warna kulitnya berubah karena luka-luka siksa
yang menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat mengurus.
Berubahlah kehidupan pemuda kaya raya itu. Tidak ada
lagi fasilitas kelas satu yang ia nikmati. Pakaian, makanan, dan minumannya
semuanya berubah. Ali bin Abi Thalib berkata, “Suatu hari, kami duduk bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Lalu muncullah
Mush’ab bin Umair dengan mengenakan kain burdah yang kasar dan memiliki
tambalan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya,
beliau pun menangis teringat akan kenikmatan yang ia dapatkan dahulu (sebelum
memeluk Islam) dibandingkan dengan keadaannya sekarang…” (HR. Tirmidzi No.
2476).
Zubair bin al-Awwam mengatakan, “Suatu ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk dengan para
sahabatnya di Masjid Quba, lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan kain burdah
(jenis kain yang kasar) yang tidak menutupi tubuhnya secara utuh. Orang-orang
pun menunduk. Lalu ia mendekat dan mengucapkan salam. Mereka menjawab salamnya.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan mengatakan hal yang
baik-baik tentangnya. Dan beliau bersabda, “Sungguh aku melihat Mush’ab tatkala
bersama kedua orang tuanya di Mekah. Keduanya memuliakan dia dan memberinya
berbagai macam fasilitas dan kenikmatan. Tidak ada pemuda-pemuda Quraisy yang
semisal dengan dirinya. Setelah itu, ia tinggalkan semua itu demi menggapai
ridha Allah dan menolong Rasul-Nya…” (HR. Hakim No. 6640).
Saad bin Abi Waqqash radhiayallahu ‘anhu berkata,
“Dahulu saat bersama orang tuanya, Mush’ab bin Umair adalah pemuda Mekah yang
paling harum. Ketika ia mengalami apa yang kami alami (intimidasi), keadaannya
pun berubah. Kulihat kulitnya pecah-pecah mengelupas dan ia merasa
tertatih-taih karena hal itu sampai-sampai tidak mampu berjalan. Kami ulurkan
busur-busur kami, lalu kami papah dia.” (Siyar Salafus Shaleh oleh
Ismail Muhammad Ashbahani, Hal: 659).
Demikianlah perubahan keadaan Mush’ab ketika ia
memeluk Islam. Ia mengalami penderitaan secara materi. Kenikmatan-kenikmatan
materi yang biasa ia rasakan tidak lagi ia rasakan ketika memeluk Islam. Bahkan
sampai ia tidak mendapatkan pakaian yang layak untuk dirinya. Ia juga mengalami
penyiksaan secara fisik sehingga kulit-kulitnya mengelupas dan tubuhnya
menderita. Penderitaan yang ia alami juga ditambah lagi dengan siksaan perasaan
ketika ia melihat ibunya yang sangat ia cintai memotong rambutnya, tidak makan
dan minum, kemudian berjemur di tengah teriknya matahari agar sang anak keluar
dari agamanya. Semua yang ia alami tidak membuatnya goyah. Ia tetap teguh
dengan keimanannya.
Peranan Mush’ab Dalam Islam
Mush’ab bin Umair adalah salah seorang sahabat nabi
yang utama. Ia memiliki ilmu yang mendalam dan kecerdasan sehingga Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengutusnya untuk mendakwahi penduduk Yatsrib, Madinah.
Saat datang di Madinah, Mush’ab tinggal di tempat
As’ad bin Zurarah. Di sana ia mengajrkan dan mendakwahkan Islam kepada penduduk
negeri tersebut, termasuk tokoh utama di Madinah semisal Saad bin Muadz. Dalam
waktu yang singkat, sebagian besar penduduk Madinah pun memeluk agama Allah ini.
Hal ini menunjukkan –setelah taufik dari Allah- akan kedalaman ilmu Mush’ab bin
Umair dan pemahamanannya yang bagus terhadap Alquran dan sunnah, baiknya cara
penyampaiannya dan kecerdasannya dalam berargumentasi, serta jiwanya yang
tenang dan tidak terburu-buru.
Hal tersebut sangat terlihat ketika Mush’ab berhadap
dengan Saad bin Muadz. Setelah berhasil mengislamkan Usaid bin Hudair, Mush’ab
berangkat menuju Saad bin Muadz. Mush’ab berkata kepada Saad, “Bagaimana
kiranya kalau Anda duduk dan mendengar (apa yang hendak aku sampaikan)? Jika
engkau ridha dengan apa yang aku ucapkan, maka terimalah. Seandainya engkau
membencinya, maka aku akan pergi”. Saad menjawab, “Ya, yang demikian itu lebih
bijak”. Mush’ab pun menjelaskan kepada Saad apa itu Islam, lalu membacakannya
Alquran.
Saad memiliki kesan yang mendalam terhadap Mush’ab bin
Umair radhiyallahu ‘anhu dan apa yang ia ucapkan. Kata Saad, “Demi
Allah, dari wajahnya, sungguh kami telah mengetahui kemuliaan Islam sebelum ia
berbicara tentang Islam, tentang kemuliaan dan kemudahannya”. Kemudian Saad
berkata, “Apa yang harus kami perbuat jika kami hendak memeluk Islam?”
“Mandilah, bersihkan pakaianmu, ucapkan dua kalimat syahadat, kemudian
shalatlah dua rakaat”. Jawab Mush’ab. Saad pun melakukan apa yang diperintahkan
Mush’ab.
Setelah itu, Saad berdiri dan berkata kepada kaumnya,
“Wahai Bani Abdu Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang kedudukanku di sisi
kalian?” Mereka menjawab, “Engkau adalah pemuka kami, orang yang paling bagus
pandangannya, dan paling lurus tabiatnya”.
Lalu Saad mengucapkan kalimat yang luar biasa, yang
menunjukkan begitu besarnya wibawanya di sisi kaumnya dan begitu kuatnya
pengaruhnya bagi mereka, Saad berkata, “Haram bagi laki-laki dan perempuan di
antara kalian berbicara kepadaku sampai ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya!”
Tidak sampai sore hari seluruh kaumnya pun beriman
kecuali Ushairim.
Karena taufik dari Allah kemudian buah dakwah Mush’ab,
Madinah pun menjadi tempat pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya hijrah. Dan kemudian kota itu dikenal dengan Kota Nabi
Muhammad (Madinah an-Nabawiyah).
Wafatnya
Mush’ab bin Umair adalah pemegang bendera Islam di
peperangan. Pada Perang Uhud, ia mendapat tugas serupa. Muhammad bin Syarahbil
mengisahkan akhir hayat sahabat yang mulia ini. Ia berkata:
Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu membawa bendera
perang di medan Uhud. Lalu datang penunggang kudak dari pasukan musyrik yang
bernama Ibnu Qumai-ah al-Laitsi (yang mengira bahwa Mush’ab adalah Rasulullah),
lalu ia menebas tangan kanan Mush’ab dan terputuslah tangan kanannya. Lalu
Mush’ab membaca ayat:
وَمَا
مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul,
sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).
Bendera pun ia pegang dengan tangan kirinya. Lalu Ibnu
Qumai-ah datang kembali dan menebas tangan kirinya hingga terputus. Mush’ab
mendekap bendera tersebut di dadanya sambal membaca ayat yang sama:
وَمَا
مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul,
sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).
Kemudian anak panah merobohkannya dan terjatuhlah
bendera tersebut. Setelah Mush’ab gugur, Rasulullah menyerahkan bendera pasukan
kepada Ali bin Abi Thalib (Ibnu Ishaq, Hal: 329).
Lalu Ibnu Qumai-ah kembali ke pasukan kafir Quraisy,
ia berkata, “Aku telah membunuh Muhammad”.
Setelah perang usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam memeriksa sahabat-sahabatnya yang gugur. Abu Hurairah
mengisahkan, “Setelah Perang Uhud usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mencari sahabat-sahabatnya yang gugur. Saat melihat jasad Mush’ab
bin Umair yang syahid dengan keadaan yang menyedihkan, beliau berhenti, lalu
mendoakan kebaikan untuknya. Kemudian beliau membaca ayat:
مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُمْ
مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang
menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada
yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka
tidak merubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).
Kemudian beliau mempersaksikan bahwa
sahabat-sahabatnya yang gugur adalah syuhada di sisi Allah. Setelah itu, beliau berkata kepada jasad Mush’ab,
“Sungguh aku melihatmu ketika di Mekah, tidak ada seorang pun yang lebih baik
pakaiannya dan rapi penampilannya daripada engkau. Dan sekarang rambutmu kusut
dan (pakaianmu) kain burdah.”
Tak sehelai pun kain untuk kafan yang menutupi
jasadnya kecuali sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah
kedua kakinya. Sebaliknya, bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya.
Sehingga Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah kebagian kepalanya, dan kakinya
tutupilah dengan rumput idkhir.”
Mush’ab wafat setelah 32 bulan hijrahnya Nabi ke
Madinah. Saat itu usianya 40 tahun.
Para Sahabat Mengenang Mush’ab bin Umair
Di masa kemudian, setelah umat Islam jaya, Abdurrahman
bin Auf radhiyallahu ‘anhu yang sedang dihidangkan makanan mengenang
Mush’ab bin Umair. Ia berkata, “Mush’ab bin Umair telah wafat terbunuh, dan dia
lebih baik dariku. Tidak ada kain yang menutupi jasadnya kecuali sehelai
burdah”. (HR. Bukhari no. 1273). Abdurrahman bin Auf pun menangis dan tidak
sanggup menyantap makanan yang dihidangkan.
Khabab berkata mengenang Mush’ab, “Ia terbunuh di
Perang Uhud. Ia hanya meninggalkan pakaian wool bergaris-garis (untuk
kafannya). Kalau kami tutupkan kain itu di kepalanya, maka kakinya terbuka.
Jika kami tarik ke kakinya, maka kepalanya terbuka. Rasulullah pun
memerintahkan kami agar menarik kain ke arah kepalanya dan menutupi kakinya
dengan rumput idkhir…” (HR. Bukhari no.3897).
Penutup
Semoga Allah meridhai Mush’ab bin Umair dan
menjadikannya teladan bagi pemuda-pemuda Islam. Mush’ab telah mengajarkan bahwa
dunia ini tidak ada artinya dibanding dengan kehidupan akhirat. Ia tinggalkan
semua kemewahan dunia ketika kemewahan dunia itu menghalanginya untuk
mendapatkan ridha Allah.
Mush’ab juga merupakan seorang pemuda yang teladan
dalam bersemangat menuntut ilmu, mengamlakannya, dan mendakwahkannya. Ia
memiliki kecerdasan dalam memahami nash-nash syariat, pandai dalam
menyampaikannya, dan kuat argumentasinya.
Sumber:
al-Jabiri, Adnan bin Sulaiman. 2014. Shirah ash-Shahabi al-Jali: Mush’ab bin Umair. Jeddah: Dar al-Waraq al-Tsaqafah
al-Jabiri, Adnan bin Sulaiman. 2014. Shirah ash-Shahabi al-Jali: Mush’ab bin Umair. Jeddah: Dar al-Waraq al-Tsaqafah
Mubarakfury, Shafiyurrahman. 2007. ar-Rahiq al-Makhtum.
Qatar: Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu-un al-Islamiyah
Kamis, 22 September 2016
Bahan Ajar Ilmu Kalam Kelas MA. Sarji Ar-Rasyid
Sejarah Munculnya Persoalan-Persoalan
Kalam
Bahan
Ajar Ilmu Kalam MA Sarji Ar-Rasyid Kelas XI
Oleh : Haji
Sampoerna
Menurut Harun Nasution munculnya
persoalan ilmu kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa
pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan r.a yang kemudian berujung pada
penolakan Muawiyah atas terpilihnya Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah keempat
dalam sejarah Islam. Ketegangan itu mengkristal dengan timbulnya Perang Shiffin yang selanjutnya berakhir
dengan adanya tahkim (arbitrase) antara
pihak Ali dengan pihak Muawiyah. Sikap Sayyidina Ali yang menerima tipu daya
Amr bin Al Ash seorang utusan dari pihak Muawiyah dalam peristiwa tahkim itu banyak tidak disetujui oleh
tentaranya, walaupun beliau sendiri dalam keadaan terpaksa menyetujui tahkim tersebut. Mereka berpendapat bahwa
persoalan yang sedang terjadi waktu itu tidak dapat diselesaikan dengan tahkim tetapi hanya dapat diselesaikan
dengan hukum Allah yaitu harus kembali kepada aturan-aturan Al-Qur’an. La hukma illa lillah atau la hukma illa Allah, itulah yang
kemudian menjadi semboyan mereka. Mereka memandang bahwa khalifah Ali bin Abi
Thalib telah melakukan kesalahan hingga mereka meninggalkan barisannya. Dan
kelompok inilah yang kemudian dalam sejarah perkembangan Islam dikenal dengan
nama kelompok Khawarij (orang yang keluar
dan memisahkan diri).[1]
Selain pasukan yang membelot atau
keluar dari barisan Ali itu masih ada para pasukan yang masih tetap setia
dengan Ali, dan kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan nama kelompok Syi’ah yang kemudian pada perkembangan
selanjutnya akan terbagi lagi menjadi beberapa sekte.
Persolan
kalam yang pertama
kali
muncul adalah masalah siapa yang kafir ? dan siapa yang masih tetap muslim /
tidak kafir ? Khawarij memandang
bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim tersebut yaitu Ali, Muawiyah, Amr bin Al Ash, Abu Musa
Al-Asy’ari adalah kafir berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat
44 :
إِنَّآ
أَنزَلۡنَا ٱلتَّوۡرَىٰةَ فِيهَا هُدٗى وَنُورٞۚ يَحۡكُمُ بِهَا ٱلنَّبِيُّونَ
ٱلَّذِينَ أَسۡلَمُواْ لِلَّذِينَ هَادُواْ وَٱلرَّبَّٰنِيُّونَ وَٱلۡأَحۡبَارُ
بِمَا ٱسۡتُحۡفِظُواْ مِن كِتَٰبِ ٱللَّهِ وَكَانُواْ عَلَيۡهِ شُهَدَآءَۚ فَلَا
تَخۡشَوُاْ ٱلنَّاسَ وَٱخۡشَوۡنِ وَلَا تَشۡتَرُواْ بَِٔايَٰتِي ثَمَنٗا
قَلِيلٗاۚ وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ
ٱلۡكَٰفِرُونَ ٤٤
Artinya :
Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh
nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan
pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab
Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut
kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar
ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir. (QS. Al-Maidah: 44)
Persolan-persolan itulah yang kemudian melahirkan 3 aliran /
sekte teologi dalam Islam, yaitu :
1.
Khawarij, yang berpendapat bahwa orang yang berdosa besar
adalah kafir dalam arti telah keluar dari Islam (murtad) dan wajib dibunuh.
2.
Murji’ah, yang berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa
besar masih mukmin bukan kafir. Adapun soal dosa yang dikerjakannya hal iru
terserah kepada Allah SWT untuk mengampuni atau menghukumnya.
3.
Mu’tazilah, yang berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa
besar bukan kafir dan bukan pula Mukmin, tetapi di antara keduanya, yang
kemudian dikenal dengan istilah al-manzilah
manzilatain.
Demikianlah masalah status bagi
pelaku dosa besar ini melahirkan 3 aliran kalam sebagaimana disebutkan di atas.
Sementara itu lahir pula 2 aliran kalam yang mempunyai paham saling
bertentangan satu dengan lainnya yaitu aliran Jabariyah dan Qadariyah.
Persoalan yang hangat dibicarakan oleh kedua aliran kalam ini adalah tentang
“perbuatan manusia”, atau dikenal dengan nama af’al al ibad, masalah yang dibicarakan ialah apakah perbuatan
manusia itu perbuatan Tuhan atau perbuatan manusia secara hakiki.
Aliran Jabariyah berpendapat
perbuatan manusia itu pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan, karena manusia
tidak mampu mewujudkan suatu perbuatan; dikatakan sebagai perbuatan manusia
hanya dalam arti kiasan.[2]
Sedangkan lawan dari aliran
Jabariyah adalah aliran Qadariyah yang menurut aliran ini perbuatan manusia itu
pada hakikatnya adalah perbuatan manusia itu sendiri yang terwujud melalui
kemampuan dan kehendak bebas manusia sendiri. Paham qadariyah ini selanjutnya
dikembangkan oleh aliran Mu’tazilah pada perkembangan selanjutnya.
Dalam perkembangan selanjutnya
Mu’tazilah dikenal sebagai aliran sangat dipengaruhi oleh filsafat bercorak
rasional dan liberal. Pada puncak perkembangannya aliran Mu’tazilah mendapat
dukungan dari pihak penguasa Abbasiyyah, Khalifah Ibn al-Ma’un (813 – 833 M)
yang menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara. Merasa mendapat
dukungan pemerintah, maka aliran Mu’tazilah memaksakan dengan kekerasan
ajaran-ajaran mereka. Terutama bahwa Al-Qur’an itu makhluk dan tidak qadim.
Peristiwa pemkasaan dan tindak kekerasan ini di dalam sejarah umat islam
dikenal dengan nama mihnah, kemudian
cara pemkasaan yang dilakukan aliran Mu’tazilah ini mulai berkurang ketika
khalifah al-Ma’mun wafat dan kemudian digantikan oleh Khalifah al-Mutawakkil,
beliau mencabut aliran Mu’tazilah sebagi mazhab resmi negara dan melarang
ajaran tentang kemakhklukan al-Qur’an ini berkembang, lebih dari itu beliau
lebih cenderung kepada ahl hadits, yang
pada zaman al-Ma’mun mendapat tekanan dan tindak kekerasan di masa mihnah (ujian pertanyaan al-Qur’an)
Akibatnya aliran Mu’tazilah
kehilangan simpati umat, bahkan dibenci dan dimaki dan jasa mereka di dunia kalam terlupakan. Di saat umat
masih trauma dengan peristiwa mihnah maka
tampillah Abu Hasan al-Asy’ari dengan ajaran kalamnya yang bertujuan untuk
menentang aliran Mu’tazilah yang kemudian dikenal dengan nama aliran Asy’ariyah. Di samping aliran Asy’ariyah
ini berkembang pula suatu aliran di Samarkand yang juga bertujuan menentang
aliran Mu’tazilah yaitu aliran Maturidiyah
yang dididrikan oleh Abu Mansur al-Maturidi. Kemudian kedua aliran kalam
yang bertujuan sama ini dikenal dengan aliran ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah.
Faktor-faktor
Kelahiran Ilmu Kalam
Sebab lahirnya ilmu kalam / ilmu
tauhid sebenarnya banyak sekali, namun bila dikaji secara keseluruhan ia dapat
dikelompokkan menjadi 2 faktor. Ahmad Amin dalam bukunya Dhuha Islam menyebutkan, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
lahirnya ilmu kalam adalah :
1.
Faktor Intern
Faktor intern adalah faktor lahirnya ilmu kalam yang berasal
dari Islam itu sendiri yaitu :
a.
Al-Qur’an di samping berisi ketauhidan, kenabian dan
sebagainya berisi pula semacam apologi dan polemik terutama terhadap
agama-agama yang ada pada waktu seperti itu.
b.
Pada mulanya keimanan umat Islam tidak dipermasalahkan
secara mendalam, persoalan perdebatan mulai muncul setelah Nabi Muhammad SAW
wafat, di samping umat Islam sudah tersebar kemana-mana juga karena pengaruh
peradaban dan kebudayaan asing seperti filsafat, penafsiran ayat-ayat al-Qur’an
yang kelihatannya bertentangan namun sebenarnya tidak. Hal-hal itulah yang
menjadi salah satu penyebab lahirnya ilmu kalam itu.
c.
Masalah politik tentang khilafah juga menjadi salah satu
penyebab berkembangnya ilmu kalam ini. Dimulai dari terbunuhnya khalifah Utsman
bin Affan yang penilaiannya berlarut-larut tentang status si pembunuh apakah
berdosa atau tidak. Masalah khilafah apakah termasuk masalah agama atau masalah
keduniaan, dan lain sebagainya.[3]
Sebenarnya soal khilafah adalah soal
politk, agama tidak mengharuskan kaum muslimin mengambil bentuk khilafah
tertentu tetapi hanya dasar yang umum yaitu kepentingan umum. Peristiwa terbunuhnya
Khalifah utsman bin Affan adalah menjadi titik yang jelas dari permulaan
berlarut-larutnya perselisihan bahkan sampai terjadi perang saudara antar
sesama kaum muslimin. Sejak saat itulah ada bebrapa penilaian dan
penganalisisan terhadap terbunuhnya khalifah Utsman tersebut. Menurut
segolongan kecil, Utsman adalah kafir dan pembunuhnya berada dipihak yang benar
karena perbuatannya yang salah selama memegang khilafah. Sebaliknya pihak lain
mengatakan bahwa pembunuhan atas khalifah Utsman adalah suatu kejahatan dan
dosa yang besar dan status pembunuhnya adalah kafir karena Utsman adalah
khalifah yang sah dan salah satu dari prajurit Islam yang setia. Penilaian yang
saling bertentangan inilah yang pada akhirnya akan menimbulkan perpecahan
bahkan peperangan ketika sayyidina Ali r.a menjadi khalifah.
Dari
peristiwa itulah kemudian muncul soal-soal lainnya soal iman dan hakikatnya,
berkurang atau bertambahnya, soal imamah, dan soal-soal lainnya. Kemudian
dilanjutkan lagi dengan soal dosa, dari sumber inilah akan bisa dengan mudah
divonis orang yang melakukan pembunuhan itu. Kemudian timbul lagi persoalan
apakah perbuatan itu bersumber dari manusia ataukah berasal dari Tuhan yang
kemudian melahirkan kaum Jabariyah dan Qadariyah dan persoalan-persolan yang akan
berkembang lainnya.[4]
Selain itu, persoalan kecenderungan
umat Islam pada waktu itu dipengaruhi oleh golongan dan fanatisme kesukuan yang
menyebabkan umat Islam terpecah belah.
Perpecahan umat ini pertama kali
adalah tentang masalah Imamah, yang
menyebabkan terjadinya pertengkaran antar umat Islam dan pada akhirnya terjadi
perpecahan ditubuh umat Islam menjadi beberapa firqah (kelompok).
Pada awalnya, ketika Nabi Saw.
meninggal dunia, jenazah Nabi yang suci itu sedang dipersiapkan untuk
dimandikan dan dimakamkan, kaum Anshar berkumpul di balairung (saqifah) untuk
membicarakan masalah imamah atau khilafah. Mereka berpendapat bahwa
kepemimpinan adalah hak kaum Anshar, karena mereka berpendapat merekalah yang
telah berjasa dalam membantu Nabi. Pemuka mereka Sa’ad bin ‘Ubadah berupaya
dengan segala kemampuanya menarik simpati massa agar bergabung dengan partainya
dengan memberikan alasan-alasan.
Dan dari segi lain, mendengar kaum
Anshar berkumpul di Balairung (saqifah) dengan segera meninggalkan jenazah Nabi
bergabung dengan mereka dan menimpali alasan-alasan yang dilontarkan kaum
Anshar. Kaum Muhajirin mengatakan: sungguh merekalah yang pertamakali menyembah
dan beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya di muka bumi ini, mereka adalah
sahabat dan kerabat dekat Nabi serta manusia yang paling berhak dan patut dalam
masalah khilafah ini.
Memang heboh memuncaknya
pertengkaran memperebutkan jabatan khalifah (antara kaum Muhajirin dan Anshar)
pada akhirnya mereda. Sementara jabatan Khalifah dikukuhkan bagi Abu Bakar as-Shiddiq
r.a dengan dukungan dari Anshar, yaitu Bisyir ibn Sa’ad saudara sepupu Sa’ad
bin ‘Ubadah yang berbaiat kepada Abu Bakar. Dengan demikian padamlah harapan
Sa’ad bin ‘Ubadah beserta kaumnya Khazraj untuk mengambil alih jabatan
khalifah.
Sementara Muhajirin
yang diwakili oleh Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah menginginkan agar khalifah
dipilih dari partai mereka. Bagi mereka, orang pertama yang membantu perjuangan
Rasulullah Saw., disamping itu, mereka masih kerabat dekat dengan Rasulullah
Saw., Abu Bakar al-Shidiq lebih memilih Abu Ubaidah atau Umar bin Khatab
sebagai khalifah. Namun Umar dan Abu ubaidah justru lebih mengedepankan Abu
Bakar al-Shiddiq dengan alasan karena beliau orang yang ditunjuk Rasulullah
sebagai imam shalat ketika Rasul sakit. Basyir bin Saad yang berasal dari suku
Khazraj melihat bahwa perselisihan antara dua kubu tersebut jika dibiarkan
dapat mengakibatkan perpecahan dikalangan umat Islam.
Untuk
menghindari hal itu, ia angkat bicara dan menerangkan kepada para peserta
sidang bahwa semua yang dilakukan kaum muslimin, baik dari partai Muhajirin
ataupun Anshar hanyalah untuk mencari ridha Allah Swt. Tidak layak jika kedua
partai mengungkit-ungkit kebaikan dan keutamaan masing-masing demi kepentingan
politik. Kemudian Basyir bin Saat membait Abu Bakar al-Shidiq. Sikap Basyir
dikecam oleh Habban bin Mundzir dari partai Anshar. Ia dianggap telah menyalahi
kesepakatan Anshar untuk memilih khalifah dari partainya. Namun Basyir
menjawab, “Demi Allah tidak demikian. Saya membenci perselisihan dengan suku
yang memang memiliki hak untuk menjadi khalifah. Mayoritas suku Aus dari partai
Anshar mengedepankan Saad bin Ibadah sebagai khalifah. Namun kemudian Asyad bin
Khudair yang juga dari suku Aus berdiri membaiat Abu Bakar. Ia menyeru pada
para hadirin untuk mengikuti jejaknya. Merekapun bangkit ikut membaiat dan
memberikan dukungan pada Abu Bakar al-Shidiq. Terpilihlah Abu Bakar sebagai
khalifah pertama umat Islam.
Dalam pemaparan
di atas, dapat diambil kesimpulannya bahwa masing-masing suku atau golongan
menginginkan penganti nabi Muhammad sebagai khalifa adalah berasal dari
golongan mereka, terutama dari suku ansahr dan muhajirin yang merasa berhak
untuk menjadi penganti khalifah. Abu Bakar al-Shidiq lebih memilih Abu Ubaidah
atau Umar bin Khatab sebagai khalifah. Namun Umar dan Abu ubaidah justru lebih
mengedepankan Abu Bakar al-Shiddiq. Akhirnya melalui kesepakatan Terpilihlah
Abu Bakar sebagai khalifah pertama umat Islam. Kemudian abu bakar digantikan
umar ibn alkhatab, dan umar digantikan oleh usman bin affan, dan usman digantikan
oleh ali bin abi thalib.
Pada masa
pemerintahan dua khalifah pertama, Abu Bakar dan Umar, roda pemerintahan
berjalan dengan baik dan kehidupan politik dapat dikatakan cukup tenang.
Perubahan ini bermula ketika Umar bin khatthab r.a. merasa khawatir hal
tersebut akan terjadi. Di antara hal-hal yang paling ditakuti ketika hampir
ajalnya ialah bahwa penggantinya akan mengadakan perubahan politik yang telah
diikuti sejak masa Rasulullah saw. Sampai masanya sendiri, yaitu yang
berhubungan dengan perlakuan terhadap kabilah-kabilah dan suku-suku mereka
sendiri, sanak kerabat serta keluaraga mereka. Itulah sebabnya ia memanggil
calon-calon penggantinya sebanyak tiga orang, yaitu Usman, Ali, dan Sa’aad abi
waqqash r.a., kepada mereka satu-persatu ia pesankan, seandainya ia yang
menggantikan kedudukan Umar, agar tidak mengangkat kaum kerabatnya sebagai
penguasa atas kaum muslimin.
Tatkala Umar bin
Khatthab mendapat tikaman, dia menyerahkan masalah kenegaraan kepada enam orang
sahabat. Semua sahabat yang enam sama-sama enggan untuk menjadi khalifah hingga
akhirnya mereka berhasil memilih Usman bin Affan. Usman bin Affan sama sekali
belum pernah berambisi untuk memegang kendali kekuasaan itu. Saat dia dibaiat
sebagai khalifah, dia telah berusia tujuh puluh tahun. Masa pemerintahan Usman
dipenuhi dengan penaklukan-penaklukan daerah-daerah sebagai penyempurna penaklukan
di masa pemerintahan Umar.
Utsman bin affan
termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum keluarganya terdiri
dari orang aristocrat mekkah yang karena pengalaman dagang mereka, mempunyai
pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam
pemimpin administrasi deerah-daerah di luar semenanjung Arabia yang bertambah
banyak masuk ke bawah kekuasaan islam.
Pada masa
pemerintahan dua khalifah pertama, Abu Bakar dan Umar, roda pemerintahan
berjalan dengan baik dan kehidupan politik dapat dikatakan cukup tenang. Namun,
pada masa khalifah Utsman keadaan mulai berubah terutama pada paruh kedua dari
12 tahun masa pemerintahannya. Secara pribadi, khalifah Utsman bin affan tidak
berbeda dengan khalifah pendahulunya. Namun, keluarganya dari bani umayah terus
mendorong dan utsman sendiri pun lemah menghadapi rongrongan serta ambisi dari
keluarga terebut sehinnga ia terpaksa memberikan berbagai fasilitas kepada
mereka
Ahli sejarah
menggambarkan Usman bin affan sebagai orang yang lemah dan tak sanggup
menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangakat
mereka menjadi gubernur di daerah yang tunduk kepada kekuasaan islam .
gubernur- gubernur yang diangkat Umar ibn al-khatab, khalifah yang terkenal
kuat dan tak memikirkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh usman.
Tindakan-tindakan politik yang dijalankan usman ini menimbulkan reaksi yang
tidak menguntungkan bagi dirinya.
Setelah Islam meluas ke mana-mana, tiba-tiba di akhir masa pemerintahan Usman, terjadi suatu persoalan yang ditimbulkan oleh tindakan Usman yang kurang mendapat simpati dari sebagian pengikutnya. Tindakan Usman yang kurang sesuai dengan kebutuhan umat pada saat itu, di antaranya ialah kurang pengawasan terhadap beberapa pejabat penting dalam pemerintahan, sehingga para pelaksana di lapangan tidak bekerja secara maksimal, diperparah lagi dengan adanya sikap nepotisme dari keluarganya. Pada saat pemerintahannya, Usman sedikit demi sedikit mulai menunjuk kerabatnya untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan memberikan kepada mereka keistimewaan-keistimewaan lain yang menyebabkan timbulnya protes-protes dan kritikan-kritikan rakyat secara umum.
Setelah Islam meluas ke mana-mana, tiba-tiba di akhir masa pemerintahan Usman, terjadi suatu persoalan yang ditimbulkan oleh tindakan Usman yang kurang mendapat simpati dari sebagian pengikutnya. Tindakan Usman yang kurang sesuai dengan kebutuhan umat pada saat itu, di antaranya ialah kurang pengawasan terhadap beberapa pejabat penting dalam pemerintahan, sehingga para pelaksana di lapangan tidak bekerja secara maksimal, diperparah lagi dengan adanya sikap nepotisme dari keluarganya. Pada saat pemerintahannya, Usman sedikit demi sedikit mulai menunjuk kerabatnya untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan memberikan kepada mereka keistimewaan-keistimewaan lain yang menyebabkan timbulnya protes-protes dan kritikan-kritikan rakyat secara umum.
Selanjutnya
Berkobarlah fitnah besar di tengah kaum muslimin yang dikobarkan oleh Abdullah
bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman yang pura-pura masuk Islam. Dia kemudian
menaburkan keraguan di tengah manusia tentang akidah mereka dan mengecam Usman
dan para gubernurnya. Dia dengan gencar mengajak semua orang untuk menurunkan
Usman dan menggantinya dengan Ali sebagai usaha menabur benih fitnah dan benih
perpecahan.
Kebijakan
politik Utsman yang merangkul sanak keluarga ini menimbulkan rasa tidak
simpatik terhadap dirinya. Para sahabat yang semula menyokong Utsman, setelah
melihat sikap dan tindakan yang kurang tepat itu, kini mulai menjauh darinya.
Sementara itu, perasaan tidak senang muncul pula di daerah-daerah. Terutama di
mesir, sebagai reaksi tidak senang terhadap dijatuhkannya Umar bin al-ash dari
jabatan gubernurnya untuk digantikan oleh Abdullah bin sa’ad bin abi sarah,
salah seorang keluarga utsman.sekitar lima ratus orang berkumpul dan kemudian
bergerak menujuh Madinah untuk melakukan protes. Kehadiran para pelaku aksi
protes ini akhirnya berakibat fatal bagi diri khalifah Utsman, ia terbunuh oleh
pemuka akibat protes tersebut .
Ali sebagai
calon terkuat, menjadi khalifah yang keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan
dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talha dan Zubeir
dari mekah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan dari Aisyah
–Talhah-Zubeir ini di patahkan Ali dalam pertempuran yang terjadi diIrak tahun
656. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan aisyah dikirim kembali ke mekkah.
Tantangan kedua datang dari Muawiah Gubernur Damaskus dan keluarga yang dekat
bagi Usman. Sebagaimana halnya Tahlah dan Zubeir , ia tak mau mengakui Ali
sebagai khalifah . Ia menuntut kepada ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh
Usman, bahkan ia menuduh ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Salah
seorang pemuka pemberontak-pemberontak mesir, yang datang ke madinah dan
kemudian membunuh Usman adalah Muhamad Ibn abi Bakr,anak angkat dari Ali Ibn Abi
Talib. Dan pula Ali tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-itu
,bahkan muhamad Ibn Abi Bakr diangkat menjadi Gubernur Mesir. Karena tuntutan
ini tidak mendapat tanggapan serius, akhirnya Muawiyah lebih lanjut menuduh Ali
terlibat paling tidak melindungi para pelaku pembunuhan khalifah Utsman.
Pembangkangan Muawiyah ini rupanya juga berakhir pada bentrokan senjata.
Peperangan yang terjadi antara pasukan khalifah Ali dan pasukan Muawiyah dalam
sejarah Islam dikenal dengan perang shiffin.
Dalam pertempuran
yang terjadi antara kedua golongan ini di siffin, tentara Ali dapat mendesak
tentara Muawiyah sehingga yang disebut terakhir dapat dipastikan akan kalah dan
bersiap-siap meninggalkan medan pertempuran. Akan tetapi tangan kanan Muawiyah,
Amr Ibn al-ash yang terkenal sebagai orang yang licik, meminta berdamai dengan
mengangkat Al-Qur’an ke atas. Qurra yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya
menerimah tawaran itu dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan
mengatasnamakan arbitrase. Sebagai pengantara diangkat dua orang: ‘Amr ibn
al-ash dari pihak Muawiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Dalam
pertemuan mereka, kelicikan Amr mengalahkan perasaan taqwa Abu Musa. Sejarah
mengatakan antara keduanya terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka
yang bertentangan , Ali dan Muawiyah. Tradisi mengatakan bahwa Abu Musa
al-Asy’ari , sebagai yang tertua terlebih dahulu berdiri mengemukakan kepada
orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan
dengan apa yang telah di setujui, Amr Ibn al-ash, mengumumkan hanya menyetujui
penjatuhan Ali yang telah diumumkan al-Asy’ari, tetapi menolak penjatuhan
Muawiyah.
Sikap Ali yang
menerimah tipu muslihat Amr bin al-ash, utusan dari pihak Muawiyah dalam
tahkim, sungguhpun dalam keadaan terpaksa , tidak di setujui oleh sebagian
tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak
dapat di putuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang dari Allah dengan
kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-qur’an. La hukma illa lillah
(tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau la hukma illa Allah (tidak ada
perantara selain Allah) menjadi semboyang mereka. Mereka memandang Ali bin Abi
Thalib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah
Islam , mereka terkenal dengan nama khawarij, yaitu orang yang keluar dan
memisahkan diri atau secerders. Di luar pasukan yang membelot Ali, ada pula
sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian
memunculkan kelompok syi’ah.
Bagaimanapun
peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Muawiyah yang legal
menjadi khalifah sebenarnya hanyalah Ali sedangkan Muawiyah kedudukannya tak
lebih dari Gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah.
Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak
resmi. Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak Ali dan tak mau meletakan
jabatannya, sampai ia mati terbunuh di tahun 661 M. Dari uraian diatas dapat di
simpulkan , bahwa ketika Ali bin abi thalib di baiat menjadi khalifah pengganti
usman bin affan keadaan Negara dalam keadaan kacau atau tidak stabil akhirnya
mempengaruhi pemerintahannya selanjutnya. Salah satu persoalan yang sedang
dihadapi adalah peristiwa pembunuhan usman bin affan. Saat Ali bin Abi thalib
menjadi khalifah, Muawiyah yang masih ada hubungan kekeluargaan dengan Usman
bin Affan yaitu sama-sama dari bani Umayah menuntut agar supaya Ali mencari
siapa pembunuh Usman Bin Affan dan menghukumnya. Tetapi permintaan itu tidak
mendapat tanggapan yang serius dari ali. Akhirnya terjadilah pertempuran antara
Ali dan Mu’awiyah yang merujuk pada perang siffin yang berakhir dengan peristiwa
tahkim atau arbitrase.
Kelompok
khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang bener
kerena Ali merupakan khalifah sah yang dibai’at mayoritas umat islam, sementara
Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah. Lagi
pula berdasarkan estimasi khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenengan pada
peperangan itu, tetapi karena Ali menerimah tipu licik ajakan damai Muawiyah,
kemengan yang hampir diraih itu menjadi raib.
Ali sebenarnya
sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok muawiyah sehingga ia
bermaksud untuk menolak permintaan itu. Namun, karena desakan sebagian
pengikutnya, terutama ahli Qurra seperti Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki
At-Tamimi dan Zaid bin Husein Ath-Tha’I, dengan sangat terpaksa Ali
memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukannya) untuk menghentikan pasukannya.
Setelah menerima
ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi
juru damai (hakam)nya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka beralasan
bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka
mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat
memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan tahkim , yakni Ali
diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya, dan mengangkat
Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan orang-orang
khawarij. Mereka membelot dengan mengatakan, “mengapa kalian berhukum kepada
hukumnya manusia. Tidak ada hukum selain hukum yang ada disisi Allah.” Imam
Ali menjawab, “itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan
keliru.” Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali
dan langsung menuju Hurura. Persoala- persoalan yang terjadi dalam lapangan
politik sebagaimana digambarkan di atas inilah yang akhirnya membawa kepada
timbulnya persoalan-persoalan teologi.
######
Dari tulisan di
atas, menurut penulis dapat disimpulkan bahwa umat Islam terpecah menjadi
bermacam-macam kelompok. Hal ini tidak hanya disebabkan pandangan dalam
memahami ajaran agama, namun juga disebabkan oleh faktor politik yang terjadi
setelah wafatnya Nabi Muhammad sampai generasi ulama khalaf. Hal ini sesuai
dengan prediksi Nabi dalam haditsnya sebagai berikut :
عَنْ
أَبِي عَامِرٍ الْهَوْزَنِيِّ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ أَنَّهُ قَامَ
فِينَا فَقَالَ أَلَا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ
فِينَا فَقَالَ أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى
ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ
وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ
الْجَمَاعَة
Artinya : Dari Abu ‘Aamir Al-Huzaniy,
dari Mu’awiyyah bin Abi Sufyan bahwasannya ia (Mu’awiyyah) pernah berdiri di
hadapan kami, lalu ia berkata : Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bediri di hadapan kami, kemudian beliau
bersabda : “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli
kitab (Yahudi dan Nashrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, dan
sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan.
(Adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan satu golongan akan masuk
surga, yaitu ”Al-Jama’ah”.
Umat Islam terpecah menjadi 7 golongan
besar yaitu:
1.
Mu'tazilah, yaitu kaum
yang mengagungkan akal pikiran dan bersifat filosofis, aliran ini dicetuskan
oleh Washil bin Atho (700-750 M) salah seorang murid Hasan Al Basri. Golongan
Mu'tazilah pecah menjadi 20 golongan.
2.
Syiah, yaitu kaum
yang mengagung-agungkan Sayyidina Ali , mereka tidak mengakui khalifah Rasyidin
yang lain seperti Khlifah Sayyidina Abu Bakar, Sayidina Umar dan Sayyidina
Usman bahkan membencinya. Kaum ini di sulut oleh Abdullah bin Saba, seorang
pendeta yahudi dari Yaman yang masuk islam. Ketika ia datang ke Madinah tidak
mendapat perhatian dari khalifah dan umat islam lainnya sehingga ia menjadi
jengkel. Golongan Syiah pecah menjadi 22 golongan.
3.
Khawarij, yaitu kaum
yang sangat membenci Sayyidina Ali bin Abi Thalib, bahkan mereka
mengkafirkannya. Salah satu ajarannya siapa saja yang melakukan dosa besar maka
di anggap kafir. Golongan Khawarij Pecah menjadi 20 golongan.
4.
Murji’ah. Yaitu
orang-orang yang meyakini bahwa seorang mukmin cukup hanya mengucapkan
“Laailahaillallah” saja dan ini terbantah dengan pernyataan hadits bahwa dia
harus mencari dengan hal itu wajah Allah, dan orang yang mencari tentunya
melakukan segala sarananya dan konsekuensi-konsekuensi pencariannya sehingga
dia mendapatkan apa yang dia cari dan tidak cukup hanya mengucapkan saja. Jadi
menurut al-murji’ah bahwa cukup mengucapkan “Laailahaillallah” dan setelah itu
dia berbuat amal apa saja tidak akan mempengaruhi keimanannya, maka ini jelas
bertentangan dengan hadits “dia mencari dengan itu wajah Allah”, maka ini
adalah bentuk kesesatan al-murji’ah. Golongan Murjiah pecah menjadi 5 golongan
5.
Najariyah, Kaum yang
menyatakan perbuatan manusia adalah mahluk, yaitu dijadikan Tuhan dan tidak
percaya pada sifat Allah yang 20. Golongan Najariyah pecah menjadi 3 golongan.
6.
Jabbariyah, Kaum yang
berpendapat bahwa seorang hamba adalah tidak berdaya apa-apa (terpaksa), ia
melakukan maksiyat semata-mata Allah yang melakukannya. Golongan Jabbariyah
pecah menjadi 1 golongan.
7.
Al-Musyabbihah / Mujasimah, kaum yang
menserupakan pencipta yaitu Allah dengan manusia, misal bertangan, berkaki,
duduk di kursi. Golongan Al Musyabbihah / Mujasimah pecah menjadi 1 golongan.
8.
Ahlus Sunah Wal Jama'ah. Golongan
mayoritas umat Islam yang di dalam hadits disebutkan bahwa golongan inilah yang
selamat. Secara etimologi Ahlu adalah kelompok/keluarga/pengikut. Sunnah adalah
perbuatan-perbuatan Rasulullah yang diperagakan beliau untuk menjelaskan
hukum-hukum Al Qur'an yang dituangkan dalam bentuk amalan. Al Jama'ah yaitu Al
Ummah (umat) yaitu sekumpulan orang-orang beriman. Menurut istilah Ahli Sunah
wal Jama'ah adalah sekelompok orang yang mentaati sunah Rasulullah secara
berjama'ah, atau satu golongan umat islam yang mengikuti ajaran Rasulullah dan
para sahabatnya.
[1]W.Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj.
Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1987), h. 10 . lihat M.Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid,(Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 91 – 97. Lihat Drs H.M. Amin Nurdin, MA dan Drs. Afifi Fauzi
Abbas, MA, Sejarah Pemikiran Dalam Islam,
Teologi / Ilmu Kalam, (PT. Pustaka Antara kerjasama dengan LSIK, 1996), h.
XII
[2]Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, jilid I,
(Dar al-Fikr al-Arabi, t.t), h. 115 dikutip dari Sejarah Pemikiran Dalam islam (Ilmu Kalam II),(Jakarta: PT. Pustaka
Antara bekerjasama dengan LSIK, 1996), h. 7
[3]Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyyah II (Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan
Pemikiran), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 51
[4] Ahmad Hanafi, ,
h. 9 - 10
Langganan:
Postingan (Atom)